Pebedaan itu adalah suatu kewajaran, tidak ada yang bisa
menolaknya. Manusia sebagai makhluk, bahkan semua makhluk, memiliki perbedaan
dalam hal apapun, persamaan mereka hanya satu…., sama-sama menjalani hidup
dalam perbedaan, tugas mereka dalam hal ini adalah menjalani hukum yang sudah
ditetapkan oleh Tuhan dalam menghadapi perbedaan.
Agama mengajarkan kita untuk memahami sebelum mengimani, hal
inilah yang menjadi hukum dalam perbedaan. Kita diwajibkan untuk memahami
terlebih dahulu sebelum merespon perbedaan, hasil dari memahami adalah benar.
Perbedaan kuncinya adalah kesesuaian, oleh karena itulah sesuatu yang beda
harus disesuaikan agar bersatu. Antara mur dan baut misalnya, mur bentuknya
lubang, sedangkan baut adalah batangan, keduanya berbeda namun akan cocok asal
lubang dan diameter batang sesuai. Pernah berfikir.., bahwa yang menyesuaikan
baut dan mur adalah manusia, manusialah yang membuatnya, begitu pula cincin
pernikahan kedua pasangan lah yang memilihnya agar sesuai dengan jari manis pasangannya
masing-masing, tapi kenapa kita sebagai manusia masih saja mempermasalahkan
perbedaan padahal kita juga lah yang berperan dalam menyesuaikan perbedaan itu.
Manusia cenderung pecah oleh perbedaan karena mereka
memiliki pikiran, dan akal sangat jarang mereka gunakan. Pikiran akan memproses
daya berfikir, sedangkan akal akan terbentuk apabila daya berfikir dan hati
menyatu. Menurut Prof. M. Quraish Shihab: “Sekali lagi, “akal” bukan hanya daya
pikir, melainkan gabungan sekian daya pada diri manusia yang menghalanginya
terjerumus ke dalam dosa dan kesalahan. Karena itulah dia dinamakan oleh
al-Qur’an sebagai ‘aql (akal) yang
secara harafiah berarti tali, yakni yang mengikat nafsu manusia dan
menghalanginya terjerumus ke dalam dosa, pelanggaran, dan kesalahan.
Pikiran manusia adalah awal sampainya rangsangan, disinilah
akal beerfungsi untuk mengikat rangsangan dengan hati sehingga akan lahir
sebuah tanggapan yang baik. Banyak sekali rumah tangga, pertemanan, kesatuan
bangsa, yang pecah hanya karena pemikiran-pemikiran yang bersifat pribadi dan
kelompok. Bukankah manusia itu makhluk social, saling membutuhkan, saling
tergantung dalam kehidupan keduniawian, seharusnya kita sadar kalau pemikiran
pribadi, pendapat pribadi atau kelompok haruslah berasas sosial, mufakat, dan
berhenti di titik tengah agar ditemukan kesesuaian. Kadang keduniawian dicampur
aduk, bahkan dipaksa untuk dimasukkan unsur keilahian, karena itulah banyak
sekali perang yang disebabkan oleh agama. Padahal agama yang benar akan
mengajarkan umatnya untuk mencintai ciptaan-Nya.
Pencampur-adukan duniawi dan ilahiah dalam tatanan sosial
akan menyebabkan dunia yang bersifat ilahi atau ilahi yang berkepentingan
duniawi. Banyak sekali kejadian di masa awal kepemimpinan sepeninggal Rasul
yang memanfaatkan agama dan kekayaan sebagai alat mendapatkan simpatisan dan
kekuasaan, sekarang pun masih terlihat samar, akan selalu samara hingga yang
jernih mendapat pembelaan secara demokrasi (hati nurani rakyat bukan oligarki).
Sayangnya hati nurani tertekan oleh faktor pikiran picik
yang dibudayakan oleh kebanyakan manusia. Seandainya kita bisa menyikapi
perbedaan dan berhenti di titik tengah, mungkin dunia ini, atau yang kecil saja
dulu, bangsa ini akan hidup dalam persatuan, akan hidup dalam keseimbangan,
akan hidup dalam keyakinan, kepercayaan, dan iman. Tidak ada kebenaran yang
satu dalam kelompok yang banyak, tapi ada kesepakatan yang satu dalam kelompok
yang banyak. Tidak ada satu orang pun yang mampu mengeluarkan kata yang bisa
diterima dan dipatuhi oleh berbagai macam perbedaan keyakinan, pikiran, dan
perasaan, tapi hanya ada satu Tuhan yang Maha Kuasa dan Bijaksana yang suatu
ketika akan menjelaskan dengan sebenar-benarnya apa yang kita perselisihkan.
Kita punya tanggung jawab kepada-Nya, karena yang kita terima adalah
pemberian-Nya, layaknya seorang ibu yang bertanya kepada anaknya: “Kau apakan
uang yang tadi ibu beri”
“Kau apakan hati dan pikiranmu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tuliskan komentar anda